Mungkin saja -sewaktu anak-anak dulu- kita kerap bertanya, “Mbah, maksud pasa weton, pemberian bunga, bubur merah, kopi dan rokok pirang ler yang di meja itu untuk apa? Lalu, keris Jenengan kok diisak-isik ketika malem-malem tertentu, sih? dan mengapa ada tombak berjejer serta payung di ruang tamu, kan ruangan itu tidak terkena air hujan?”  kemudian Mbah kita yang sepuh dengan bergigi tak lagi utuh kan menjawab sekedarnya saja atawa dengan frasa andalannya semisal, “Wis ngono wae, kowe jeh cilik, ora ilok!” sampeyan pernah mengalami, Lik?
Lalu sewaktu kita sudah berkembang menjadi remaja, yang meruah penuh tanya dalam gejolak kawula muda akan menjumpai ujaran dan tetangga kita sendiri, “Heh aja, kuwi klenik, mistik, kancane jin setan gundul, mlebu alam perayangan, aja nyedhak, cilaka! Tak jarang, penalaran kita pun dibuai dengan godam angkuh ciptaan sinetron maupun film berjudul bombastis, Keris Tumbal, Malem Jumat Kliwon, Tumbal Empu Gandrung, Pelet Melat-melet, Delapan Manusia Serigala atau Onani dalam Kubur. Oh....cilaka!
Berbanding terbalik dengan kenyataan, sebagaimana kita mengetahui, Thomas Stamford Raffles bahkan lebih klenik dibanding Om Diyo, G.B.Gardner lebih paham dibanding, Mbah Wagimin serta P.A Van Der Lith lebih bisa menjelaskan bahwa dibalik pembongkaran stupa Candi Borobudur ditemukan sebilah pusaka. Bahwa di Museum Tropen Amsterdam, Museum di Paris dan Singapura tersimpan beragam tembikar, keris, tombak maupun badong maupun naskah tua.
Intinya, seringkali kita terjebak di penyampuran kata: Klenik, mistik, mistisime tanpa benar-benar memahami, serta acapkali meremehkan benda-benda semacam gerabah, buku, sepeda, keramik tua yang terlihat lusuh, tidak bernilai, bahkan jelek. Untuk itu, di Stupa#3 ini, kita berdiskusi setengah berbisik-bisik, apakah klenik, apakah benda antik yang cantik itu? 
#SenimanKudusmariberkumpul

0 komentar:

Post a Comment

 
Top