“Sekali lagi, sebenarnya, bukan pelarangan makan daging sapi, tapi pelarangan penyembelihannya, mas, mbak dan bung sekalian. Di satu sisi sebagai wujud toleransi pada warga yang nonmuslim sekaligus rangkai strategi Jeng Sunan dalam berdakwah. Ini ditandai bentuk bangunan yang merupakan arsitektur Masjid Menara, yang ada nuansa Hindu maupun Budha. Ya, masjid tersebut benar-benar dibangun dari nol, dirancang sedemikian rupa, dengan tembok luar yang cenderung rendah (bisa dilihat dari luar) untuk kemudian disekitar masjid ditambatkan seekor sapi. bukan seperti dugaan banyak pihak yang menyatakan bahwa masjid Kudus berasal dari candi yang diubah menjadi mesjid. Saya setuju kalau Sunan Kudus dinyatakan berkarakter tegas, tapi kalau menurut saya, beliau tegas dalam hal yang berhubungan dengan syar’i, namun toleran pada agama lainnya. Ada semburat rasa yang menghuni hati beliau sepulang dari Masjidil Aqsa, Beliau ingin Kota Kudus, seperti keadaan masyarakat di sana. Saling duduk berdampingan, akur, tanpa ada caci maki. bukankah sampai sekarangpun masih berdiri bangunan klenteng di sekitar mesjid? malah saya menemukan kisah, (Mbak Yai sebagai penerus Sang Sunan) sepulang dari mengisi pengajian jajan asyik jagong gayeng di warung yang penjualnya adalah tionghoa di sekitar Menara. Ini mengindikasikan toleransi benar-benar digaungkan beliau untuk kemudian berhasil diestafetkan pada generasi berikutnya. Benar, bahwa kedatangan Sunan Kudus bermula dari kekecewaan Sunan Kudus dengan Sultan Trenggana, Yah, beliau memang cenderung lebih mendukung Arya Penangsang sebagai pewaris sah tahta kerajaan Demak. Nah, kedatangan beliau juga mengubah strategi yang semula kuat di maritim, memanfaatkan lokasi kota dibalut jiwa semangat dagangnya. Bukankah, Kudus dari dulu tidak banyak memiliki kubikan kayu jati, tapi mengoper bentuk lain berupa produk ukiran kayu jati. Kudus dari dulu tidak perkebunan tembakau, tapi siapa sih yang tidak mengenal kudus kota kretek? Nah? Jadi untuk sesi pertama, secara tampak, bangunan Masjid Menara menandakan kuatnya toleransi, secara tak tampak, berwujud larangan penyembelihan sapi di Kudus. Mekaten Mas MC

Suara kuuung burung perkutut menggema, menambah suasana makin khidmat. Rangkaian kata sesi pembuka dari Tuan Rumah berasa menghunjam dalam dada masing-masing audience. Benarkah belum ditemukan prasasti, inskripsi, naskah, buku yang berhubungan dengan penyembelihan sapi? Atau jangan-jangan Bung Maesa “masih” menyimpan rapat informasi tersebut, hingga dikeluarkan pada ending diskusi, atau setidaknya di momentum yang benar-benar tepat? Lha wong, rasanya, tidak mungkin tidak ditemukan! Lha wong sedemikian kuatnya, masyarakat Kudus, memegang petuah dari Mbah Sunan ini je....

“Ya, sekedar tambahan informasi, di tahun 1995, awal saya menginjakkan ke Kudus ini, hanya ada dua tempat yang berani menyembelih sapi, pertama di daerah (tiitttt), kedua di daerah (titttt), tapi sekarang, 5-7 % masyarakat berani menyembelih sapi” Kata Bapake Lubee tiba-tiba
Seperti iklan Benyamin Sueb rapi berjajar: satu, dua tiga, sembilan, bekerja, tamasya, teman setia anda: Eng...ing...engggggg

rasa penasaran kami masih banyak bertebaran
Bersambung

0 komentar:

Post a Comment

 
Top