“Age ra acarane dimulai, kok jeh anteng!”

Ada suara menyeruak menembus lengang jalan depan rumah. Sosok pria yang memang pantas disebut lelaki layaknya lagu Blowing in The Windnya Bob Dylan. Kilat manis maupun getir hidup berasa kuat di raut wajahnya. Ya, Dzatmiko Batara Kanzu Lelaki yang hampir selalu dipuja di tiap pertemuan antara mak-mak dan janda-janda muda, namun gagal membangun jalinan diskusi gadis-gadis remaja. Barangkali tipilogi gadis jaman sekarang memang kurang menghargai wong lanang yang gemar membaca buku serta memraktekkan di jalanan hidupnya.
 “Oiii..mangga mas, silakan masuk! Sapaku menyongsong kahadirannya. “Piye, tema diskusi kali ini benar mengenai Gusjigang ta? Tanyanya sambil meletakkan helm. “Iyo, Mas…Gusjigang beserta turunan-turunan, masih pentingkan adagium itu. Temporary ataukah memang pantas untuk kita lestarikan?” jawabku menyambut kedatangannya. Tak genap sepuluh langkah dari sebrang selatan Warih Bayoung Wewe terlihat. Berkaos putih dan bersarung. Ia mengenakan kopiah putih bergaris hitam layaknya jamaah maiyah sungguhan. Lalu datang juga spiritulis dari Utara, dimana kaum muda sering memanggilnya dengan Bapa Lukartono yang mengenakan ikat kepala serta batik tulis berkombinasikan celana hitam

Setengah berbisik kukatakan sesuatu hal pada Ustur selaku Master of Ceremony malam ini, Ia pun mengangguk setuju sembari menyiapkan beberapa catatan di buku hitam kecilnya. Ada keheningan muncul beberapa detik. Sungguh beratkah tema mala mini? Gelapkah kajian Gusjigang ini? Musabab apa yang menyebabkan ini semua? Kusapukan pandang ke segala penjuru, teman-teman mengangguk meski entah apa yang disetujui, namun kumaknai bahwa pencarian makna Gusjigang pantas untuk dilakukan. Terdengar suara Ustur membuka diskusi StuPa#1 dengan ujaran yang tertata rapi yang menjadi ciri khas pemuda lulusan madrasah nahdatul ulama yang senatiasa indah di kedalamannya. “Mangga, pembicara pertama kita, Mas Jatmika yang sering dipanggil Gus Mik, silakan!” ujar MC memulai

“Terimakasih, sebelum mengemukakan apa dan bagaimana adagium Gusjigang ini, ada baiknya teman-teman serta para pemuda, saya mengajukan pertanyaan pembuka yakni, jikalau ilmuwan boleh keliru tapi tidak boleh bohong, jika politisi itu boleh bohong tapi tidak bioleh keliru, lalu bagaimanakah dengan seniman atau budayawan? Tanya Gus Miko deras hujan bulan Januari
Mendapat pertanyaan sedemikian wagunya, audien diam. Entah karena jarang mendengar atau kedalaman pertanyaan yang benar-benar dalam, bingung bergumul dengan bengong. Duhai…

 “Assalamualaikum” mendadak ada seseorang yang memberi salam dari kejauhan, suara yang jantan yang sepertinya menyelamatkan kami dari pertanyaan dari Gus Mik. Ia adalah Herry, pemuda uttara yang.secara tampang sangar namun hatinya sejuk, ua rekan pirus pecinta juga keris Jawa…duhaii

0 komentar:

Post a Comment

 
Top