Masih hening. Pertanyaan dari
Gus Mik menjelma gajah kuat yang enggan bangkit di benak kami.
“Barangkali pertanyaan dari
Miko itu kita pikirkan sambil kita dengar pendapat Mas Leo Katarsis” pecah Sang
MC
“Yah, memang pertanyaan
dari Beliau akan kita coba jawab nanti, Nah, sebelumnya akan saya ceritakan
kisah saya sehubungan dengan Gusjigang tersebut. Pertama kali saya mendengar
adagium itu ya dari satu acara kawinan berpuluhan tahun lalu. Dimana di acara
tersebut, Sang Dai, mengisahkan jika mencari figur suami maka carilah sosok yang
bagus, pinter mengaji, serta berprofesi sebagai pedagang. Kemudian istilah gusjigang
saya dengar gencar sepuluh tahunan kemarin, barangkali gemanya muncul ketika
UMKM digalakkan, malah saya mendengar cerita dari Bung Ommie, sekarang ada
tarian Gusjigang juga. Menurut pandangan saya, kita harus juga memetakan apakah
Kudus ini sebagai keseluruhan kota ataukah Kudus sekitar Menara? Lalu bagaimana
dengan penduduk Rahwatu, Menawan, Gebog, Undaan yang notabenenya petani, atau bagaimana
dengan penduduk Jekula, yang bahkan untuk menyebut Kudus ketika hendak pergi ke
jantung kota, jadi untuk sementara demikianlah pendapat saya, nanti dilanjutkan
lagi!” kata Mas Leo Katarsis
“Menawi pendapat Bapa
Lukartana, pripun?” Tanya Ustur
“Saya malah tertarik untuk
menjawab pertanyaan awal tadi, dimanakah peran seniman? Saya kira seniman
haruslah ada di tengah-tengah, bukan berpolitik, bukan juga sebagai ilmuwan,
hendaknya seniman menjadi pijaran yang tetap menjaga etika dan estetika di
lingkungan apapun, sementara untuk adagium Gusjigang saya menafsiri sebagai
tutur sembur dari leluhur kita, yang hendaknya kita coba jadikan spirit untuk
menjadikan diri kita menjadi manusia sejati. Bagus bukan hanya rupa tapi juga bagus
akhlak, pandai mengaji bukan pada kitab Al-Quran tekstual saja namun juga makna-makna
tersirat yang tersirat di dalamnya. Malah saya memiliki definisi Gusjigang
sebagai Gusjigung, bahwa Gus itu adalah Gusti, Ji kuwi siji, Gung, agung, jadi
Tuhan yang esa dimana keagungannya meliputi semua sisi yang bisa dipandang dari
mana saja, dari agama mana saja” Kata Bapa Lukartana singkat namun padat
“Di menit awal, diskusi
berjalan dengan pertanyaan dan pernyataan yang demikian gegap gempita, bagaimana
kalau kita isi dulu beberapa tembang, bagiamana teman-teman SwaTantu sudah siap?”
Hitungan: satu..dua…tiga, Shalawat
Asnawiyyah di mulai. Bermula dengan gebukan floor tam Bung Kenyol, Mas Dayat
dan Yanu mulai memutar tuning, , Rizal, Acik, bersiap dengan senjataanya dan Mas
Farid mulai menyibak puisi yang akan dilantunkannya..
(Dua puluh tahun di tanah
suci, Asnawi memutuskan kembali Indonesia merdeka menjadi cita-cita beliau. Asnawi
mendidik para santri di dirikan sekolah Qudsiyyah namanya Santri mandiri adalah
prisnsip asnawi, dengan Sarekat Islam beliau berjuang, 1918 Asnawi dijebloskan
penjara, tiga tahun lamanya bukan sebab pembangkangan namun keberanian sikap
dan prinsip. Asnawi pantang gentar dirintisnya NU, bersama sahabatnya, Kyai Wahab
Hasbullah, sebagai jembatan Indonesia merdeka, 60 tahun sudah beliau wafat,
ijinkan kami mengenali dan meneladanimu, Raden)
Alam berubah hening dan khidmat.
Sejuta bidadari cantik mengintip dari balik awan sembari menitikkan airmata mengiringi
bait-bait karya Mbah Asnawi yang memang luar biasa indahnya
0 komentar:
Post a Comment